Arti dari kata "Dayak" itu sendiri masih bisa diperdebatkan. (Commans dalam Maunati, 2004:59 ), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, "Dayak" berarti menusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tingggal di hulu sungai (Cammans dalam Maunati, 2004: 60). Dengan nada serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggonakan istilah Dayak dalam dengan arti manusia, sementara orang-orang Tanjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai (1993:4). Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani, dan ulet (Lahajir et al.,1993:3).
Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku yang tersebar di seluruh Kalimantan ( Ukur, 1992:27). Ada banyak versi tentang kelompok-kelompok suku tersebut. Riwut (1958) menyatakan bahwa orang Dayak terdiri dari tujuh subsuku. Kennedy (1974) membagi Dayak menjadi enam kelompok: Kenyah-Kayan-Bahau, Ngajii, Dayak Darat, Klementan-Merut, Iban dan Punan. Lahajir et, al (1993) yakin bahwa pada mulanya semua subsuku tersebut adalah bagian dari kelompok yang sama, tetapi karena proses greografi dan demografi yang berlangsung selama lebih dari seribu tahun, kelompok ini menjadi terpecah- pecah. Masih ada kesamaan- kesamaan, yang diakibatkan oleh asal usul yang sama, yaitu propinsi Yunnan. Senadu dengan Lahajir, Ukur juga berpendapat bahwa meskipun terdapat sejumlah perbedaan di antara suku-suku tersebut, Dayak mempunyai banyak kesamaan sehingga ada kemungkinan untuk mengkaji kebudayaan Dayak senagai satu kesatuan (1992:27-28).
Ada sejumlah seksamaan yang signifikan di antara orang-orang Dayak, kecuali suku Punan yang memang lebih nomadik, dalam hal-hal yang berkaitan dengan dakta bahwa mereka tinggal di rumah- rumah panjang, menggunakan parang (mandau) dan sumpit (tutup), memproduksi keranjang-keranjang rotan, menggunakan manik-manik dalam ritual-ritual mereka, melakukan pertanian dengan sistem ladang berpindah, dan dalam hal pertunjukan tari-tarian dalam ritual- ritual mereka (Ukur, 1991; Widjono, 1998). Literatur antropologi klasik cenderung memotret Dayak sebagai kelompok yang eskotik dan unik , yang bercirikan kebiasaan berburu kepala, tinggal di rumah panjang, animisme, dan gaya hidup nomadik. Gambaran tentang Dayak sebagai sebuah etintas laun (other) yang terasing, tak tersentuh peradaban dan kebal dari pembahan, yang membedakan mereka dari orang- orang Eropa yang disebut sebagai pelaku sejarah yang aktif, dapat dilihat dengan jelas di sini meskipun bukan berarti bahwa hal ini hanya dapat ditemui dalam tulisan-tulisan yang berasal dari masa kolonial saja (Miller, 1994). Tetapi, akhir-akhir ini para antropolog mulai menyadari bahwa penanda-penanda identitas tersebut di atas selalu mengalami pembahan. Dahulu pada umumnya Dayak dianggap sebagai sebuah fungsi animisme. Agar dianggap sebagai Dayak, seseorang harus menjadi penganut animisme. Banyak orang yang sekarang dikenal sebagai orang Melayu, termasuk di dalamnya orang-orang Kutai, dulunya dianggap sebagai orang "Dayak". Ave dan King (1986) beranggapan bahwa mayoritas orang Melayu di Kalimantan sebenarnya adalah orang Dayak yang kemudian masuk Islam (Coomans, 1987; Sellato, 1989; dan Gerke, 1997). Tetapi, dengan adanya perubahan tersebut, ke-Dayak-an mereka mempertanyakan dan kemudian secara berangsur-angsur lenyap. Jadi, tampaknya batas antara Dayak dan Melayu merupakan batas yang sifatnya arbitrer dan agak ambigu.
Sumber:
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak Komudifikasi & Politik Kebudayaan. LkiS Yogyakarta: Yogyakarta.